Dini hari tadi, dunia dikejutkan oleh sebuah peristiwa besar dalam sejarah sepakbola: tuan rumah putaran final Piala Dunia 2014, Brazil, luluh lantak di hadapan Jerman dengan skor yang tak hanya telak, namun juga memalukan, 1-7.
Ada banyak kesalahan substansial Brazil dalam pertandingan itu. Pertama, mereka kehilangan dua pemain kunci sekaligus, yakni Neymar dan Thiago Silva. Soal pengganti Neymar mungkin cenderung menjadi diskursus yang lebih sederhana, karena terjadi dalam sektor penyerangan yang tak berdampak langsung pada risiko kebobolan.
Lain lagi dengan soal Thiago Silva. Jelas, lini pertahanan adalah soal yang tak bisa dinomorduakan karena perjudiannya terlalu besar. Salah sedikit saja, gawang tim Anda akan kebobolan. Tadi malam, Scolari memilih Dante untuk berduet dengan David Luiz di sana. Di luar soal bahwa mereka berdua belum teruji sebagai duet di jantung pertahanan, ini mungkin hal yang harus diterima mengingat tak ada opsi yang lebih baik.
Kesalahan besarnya adalah Brazil lupa bahwa, dengan demikian, sektor pertahanan mereka menjadi titik lemah dalam pertandingan dini hari tadi. Logika sepakbola sebenarnya sederhana: Identifikasi titik lemah tim Anda, dan jauhkan bola selama mungkin dari titik tersebut. Dalam konteks tadi malam, seharusnya Brazil menjauhkan bola selama mungkin dari sektor pertahanan mereka. Celakanya, ini tak terjadi lantaran Brazil memilih pola penyerangan yang cepat dan tembak langsung. Direct football sangat berisiko karena penguasaan bola bisa dengan cepat berpindah, sehingga rawan menghadapi serangan balik.
Di sinilah seharusnya contoh possession football Barcelona dan Spanyol 2008-2012 diaplikasikan. Banyak orang cenderung lupa, bahwa tiki-taka bukanlah semata-mata tentang penyerangan. Menguasai bola selama mungkin sesungguhnya juga merupakan suatu bentuk pertahanan. Musuh tak akan bisa mencetak gol selagi bola berada dalam penguasaan kita.
Benar saja. Jerman begitu menikmati menyerang balik dengan lepas begitu bola berpindah ke kaki mereka. Saya sering menyebut bahwa satu-satunya jalan melawan Jerman adalah dengan memainkan possession football dan memaksa mereka kehilangan konsentrasi karena frustrasi akibat susah merebut bola. Jerman tak bisa dihadapi dengan pendekatan adu kencang seolah-olah seperti siapa yang bisa menekan pedal gas paling dalam. Bunuh diri itu namanya.
Mari kita sekarang berpaling ke dalam negeri. Indonesia hari ini menjadi tuan rumah dari sebuah pertandingan besar antara dua kandidat presiden yang akan menentukan nasib negara ini dalam tahun-tahun mendatang. Ini sama sekali bukan hal yang sepele.
Saat saya menulis catatan ini, kedua belah pihak sama-sama mengklaim kemenangan. Anda bisa menyebut saya paranoid, tapi situasi serupa sering kita dengar di pemilihan-pemilihan lain di negara lain yang berujung pada situasi konflik. Saya tak cemas soal siapa pemenang Pilpres kali ini. Saya cemas soal apakah kandidat yang kalah akan bisa bersikap dengan menerima.
Tenunan sosial rakyat Indonesia masih cenderung rapuh dan figur-sentris. Saya berdoa agar tak ada yang tersulut ketika hasil nanti akan diumumkan secara resmi pada tanggal 22 Juli. Periode antara hari ini sampai akhir bulan ini yang sesungguhnya menjadi babak paling menentukan dalam konteks pilpres. Sangat-sangat besar taruhannya sehingga mirip dengan konsep sudden-death yang kini telah ditinggalkan oleh FIFA.
Kesalahan tak boleh terjadi. Gambaran pemain-pemain Brazil dini hari tadi tak mau hilang dari benak saya. Karena satu langkah yang salah saja dari salah satu kandidat, bisa bermakna bunuh diri bagi Indonesia. Saya tak ingin Indonesia kalah dalam pertandingan ini, apalagi dengan ongkos sangat mahal seperti selisih gol tadi malam yang sangat meruntuhkan moral.
Saya berdoa. Anda?